Kamis, 11 Juni 2009

kHANZA

Islam meletakkan wanita di tempat yang patut. Dia adalah
pemimpin rumah tangga dan pelaksana urusan serta penanggungjawabnya.
Orang laki-laki membantunya dalam urusan itu, sedang dia membantu
orang laki-laki dalam urusan selain itu. Adapun kemerdekaannya, maka
hal itu tampak dalam kemerdekaan perkawinan dan kebebasan menyatakan
pendapatnya. Itu adalah urusan haknya. Tidak seorang pun boleh meram-
pas haknya untuk berpendapat atau melanggar izinnya. Kemerdekaannya
dalam hal itu lebih jauh jangkauan dan lebih sempurna kedudukannya
daripada orang laki-laki.

Apabila dia menikah dengan seorang laki-laki, kemudian orang
laki-laki itu tidak menyukai lalu meninggalkannya sebelum menggauli,
maka baginya setengah dari mahar. Jika dia meninggalkannya sesudah
menggauli, maka isteri berhak atas mahar seluruhnya. Suami tidak boleh
berkata : Nasab itu derajatnya di bawah aku. Semua wanita sepadan
dengan laki-laki, hanya ketakwaannya saja yang menentukan perbedaan
derajat di sisi Allah SWT.

Wanita boleh memutuskan ikatan perkawinan, jika dia tertipu
atau dipaksa melakukannya. Orang laki-laki tidak boleh memaksanya
menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Rasulullah SAW telah
membatalkan pernikahan Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariah, karena
ayahnya menikahkan, sedang dia tidak suka.

Khansa’ binti Khidzam adalah dari Bani Amru bin Auf bin Aus.
Dia berjumpa dengan Nabi SAW ketika beliau datang ke Madinah. Pada
waktu itu Khansa’ masih kecil dan mendengar tentang Nabi SAW. Dia
lalu dipinang oleh dua orang : Yang pertama adalah Abu Lubabah Ibnul
Mundzir, seorang pahlawan tersohor di antara para shahabat Rasulullah
SAW. Sedang kedua adalah seorang laki-laki dari Bani Amru bin Auf,
familinya. Dia lebih menyukai Abu Lubabah, sedangkan ayahnya memilih
putera pamannya. Kemudian sang ayah tetap melangsungkan pernikahannya
tanpa memperdulikan persetujuan puterinya.

Maka pergilah Khansa’ kepada Rasulullah SAW dan berkata :
“Ayahku telah memaksaku untuk menikah dan tidak mempedulikan perasaan-
ku.” Maka Nabi SAW bersabda kepadanya :”Tidak sah nikahnya. Nikahilah
orang yang engkau kehendaki.” [Sahih Bukhari, juz 7 halaman 18 dan
Al-Ishaabah juz 8, halaman 65]. Kemudian dia menikah dengan Abu Lubabah.

Para muhaddis berselisih tentang keadaannya ketika dia menikah.
Dalam riwayat Muwaththa’ dan Ats-Tsauri disebutkan, bahwa dia masih
perawan. Dalam riwayat Bukhari dan Ibnu Sa’ad disebutkan, bahwa dia
sudah janda dan berkata :”Wahai, Rasulullah, sesungguhnya paman anakku
lebih aku sukai.” Maka Nabi SAW menyuruhnya memilih. Syamsul Aimmah As-
Sarkhasin meriwayatkan dalam Al-Mabsuth hadits Khansa’ binti Khidzam
dengan versi berikut : Khansa’ berkata :”Ayahku menikahkan aku dengan
putera saudaranya, sedangkan aku tidak menyukai hal itu.” Maka Nabi SAW
menjawab :”Setujuilah apa yang diperbuat ayahmu.” Aku berkata :”Aku
tidak menyukai apa yang dilakukan ayahku.” Nabi SAW bersabda :”Pergilah.
Nikahnya tidak sah. Nikahilah orang yang engkau sukai.” Khansa’ berkata :
“Aku setuju dengan apa yang dilakukan ayahku, tetapi aku ingin semua
orang mengetahui, bahwa para ayah tidak boleh sewenang-wenang dalam
urusan puteri-puteri mereka.” Penulis Al-Mabsuth berkata :”Nabi SAW
tidak mempersalahkan perkataannya itu.” [Al-Mabsuth juz 5, halaman 2]

Pembicaraan tentang Khansa’ beralih pada pembicaraan tentang
Bariroh. Siapakah Bariroh itu ? Dia adalah sahaya perempuan dari Haba-
syah yang dimiliki oleh Utbah bin Abu Lahab. Dia mengawinkannya dengan
sahaya laki-laki Mughirah. Tidaklah dia menyukainya, kalau boleh dia
memilih. Maka Ummul Mu’minin Aishah r.a. merasa kasihan, lalu membeli
dan membebaskannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya :”Engkau
telah menguasai dirimu, maka pilihlah.”

Suaminya berjalan di belakangnya sambil menangis, sementara
Bariroh menolaknya. Maka Nabi SAW bersabda kepada para shahabatnya :
“Tidakkah kalian merasa heran atas cintanya yang sangat kepada isterinya
dan kebencian sang isteri kepada suaminya ?” Kemudian beliau bersabda
kepada Bariroh :”Takutlah kepada Allah, karena dia adalah suami dan ayah
anakmu.” Bariroh berkata :”Apakah engkau menyuruhku ?” Nabi SAW menjawab:
“Sesungguhnya aku adalah pemberi syafa’at.” Bariroh berkata :”Kalau begitu,
aku tidak membutuhkannya.” [Al-Mabsuth, juz 5, halaman 99 yang disusun
oleh Syamsul Aimmah As-Sarakhasii, salah satu Imam Hanafiah dan kadhi
terkemuka]

Apakah orang-orang merasa heran setelah itu, melihat penentangan
wanita-wanita Arab terhadap kesewenang-wenangan para bapak dan wali mereka?
Betapa banyak kejahatan dilakukan dengan sebab pengabaian pendapat anak-
anak perempuan dan karena mereka dinikahkan dengan laki-laki yang tidak
sepadan dalam hal tabiah dan akhlaq, demi mengejar materi dan mengharapkan
harta suami.

Tidakkah para bapak mengingat penderitaan psikologis dan jasmani
yang dialami oleh anak-anak perempuannya itu ? Inilah seorang wanita muda
yang dikawinkan ayahnya tanpa izin. Dia menulis surat kepada ayahnya :

Wahai, Ayahku, engkau aniaya aku dan
engkau timpakan cobaan padaku
dan engkau serahkan diriku ke tangan
orang yang menghinakannya
Wahai, Ayahku, kalau tidak takut dosa
tentulah engkau telah didoakan yang
dikabulkan karena kesalahanmu.

Seorang wanita lain berkata ketika ayahnya mengawinkannya dengan
putera pamannya :

Sungguh mengherankan wanita cantik
yang dikawinkan dengan seorang tua;
Ia menyuruhnya kawin dengan orang itu
karena masih kerabatnya. Hati-hatilah wanita cantik
terhadap putera pamannya.

Wallahu a’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Apakah Langkahqu mampu Merubah sebuah Harapan

.............................